Penulis: Niko Taman, S.Pd
MEMAHAMI NILAI FILOSOFIS BUDAYA TARIAN CACI
Tulisan ini bertujuan merespon perdebatan panas
warganet di media sosial khususnya di grup DEMOKRASI MABAR akhir-akhir ini
pasca viralnya sebuah vidio yang menayangkan sepasang penari caci perempuan di
sebuah sanggar tarian caci di Kampung Melo Manggarai Barat. Kegiatan ini
ditayangkan oleh sebuah stasiun TV swasta. Beragam reaksi publik pun bermunculan
mulai dari yang bermakna mengumpat hingga memuji.
Bahkan tidak sedikit yang mengutuk pihak sanggar
selaku pihak yang bertanggung jawab atas kegiatan pementasan caci tersebut
dengan basis argumentasi budaya bahwa caci secara tradisi tabu dipentaskan oleh
kaum hawa. Namun pihak yang mendukung berargumen bahwa caci merupakan ekspresi
nilai seni dan oleh karena itu tidak menjadi milik istimewa kaum adam.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk membuat dikotomi
tentang pihak mana yang benar dalam perdebatan seputar pantaskah kaum hawa
menarikan tarian caci tetapi mau mencoba membahas tarian caci menurut
perspektif nilai filosofis budaya yang terkandung dalam seni tarian caci itu
sendiri. Melalui tulisan ini akan diketahui bahwa aturan teknis pementasan
tarian caci berkaitan erat dengan nilai-nilai filosofis yang dimaksud. Dengan
kata lain, tarian caci hanya dimainkan/dipentaskan oleh penari laki-laki bukan
sekedar tradisi belaka tetapi merupakan refleksi simbolis makna filosofis yang
ditanamkan sejak lahirnya seni tarian caci itu sendiri.
Tarian Caci Manggarai
Foto: facebook.com
Sebelum penulis mengulas secara singkat apa saja
aspek nilai filosofis dalam seni tarian caci itu sendiri, tentu sangat penting
untuk kita memahami aspek etimologis nya. Caci secara etimologis berasal dari
Bahasa Manggarai yang terdiri dari dua kata yaitu ca dan ci. Secara leksikal
dalam kamus Bahasa Manggarai karangan Jillis AJ Verheijen kata ca diartikan
satu, tunggal sedangkan kata ci diartikan mencoba, menguji. Merujuk pada makna
leksikal tersebut, caci dapat diartikan menguji satu satu. Yang diuji adalah
kemampuan, ketangkasan dan kekuatan pemain dalam memukul dan menangkis pukulan
lawan.
Apa saja nilai filosofis yang terkandung dalam seni
pementasan tarian caci? Berbicara tentang nilai filosofis adalah berbicara
tentang pengetahuan yang membahas hakikat dari segala sesuatu melalui
penyelidikan dengan akal budi untuk menemukan jawaban secara kritis, logis,
sistematis. Dalam kaitan dengan seni tarian caci, nilai filosofisnya yang
diusung berkaitan dengan alasan hakiki mengapa caci itu ada, mengapa caci itu
hanya dipentaskaskan oleh kaum pria dan untuk apa caci itu dibuat. Jawaban atas
pertanyaan tersebut merupakan satu kesatuan yang menjadi landasan filosofis
budaya orang Manggarai tentang seni tarian caci.
Berhubung Caci adalah sebuah seni tari yang kaya
akan nilai baik yang bersifat estetik maupun etika, tulisan ini hanya fokus
pada aspek nilai filosofis yang menjawab satu pertanyaan mendasar yakni mengapa
caci hanya dimainkan oleh penari pria. Fokus tulisan ini diharapkan dapat
membantu kita menemukan alasan mengapa tarian caci hanya boleh dimainkan oleh
kaum adam.
Setiap jenis kesenian yang dimiliki oleh suatu
kelompok etnis tertentu dipakai sebagai media mengekspresikan sejumlah nilai.
Demikian pula tarian Caci sebagai salah satu wujud kebudayaan Manggarai dalam
bidang kesenian diciptakan sebagai media mengekspresikan sejumlah nilai yang
erat kaitannya dengan falsafah budaya masyarakat pemilik kesenian tersebut.
Menurut Teobaldus Deki dkk dalam salah satu artikelnya yang berjudul "Caci
Orang Manggarai", caci merupakan media ekspresi keperkasaan, keberanian
dan ketangkasan kaum pria dalam bentuk seni tari. Nilai ini secara simbolis
dinyatakan melalui gaya berbusana yang ditampilkan penari caci dan aturan
teknis pementasan serta asesoris busana yang semuanya merepresentasi sifat
maskulin penari caci.
Keperkasaan, keberanian dan ketangkasan adalah unsur
karakter maskulin yang harus mampu ditunjukan penari caci secara etis dan
estetik. Artinya sifat keperkasaan yang ditunjukan dengan penuh keberanian dan
ketangkasan dalam menyerang dan menangkis pukulan lawan tetap dilandasi sikap
santun, sportif terhadap lawan serta tidak mengurangi aspek estetik sebagai
sebuah ekspresi seni tari bagi kaum pria dewasa. Bagi orang Manggarai,
karakter maskulin yang diekspresikan lewat tarian caci merupakan bagian dari
edukasi nilai moral bagi pendewasaan diri kaum pria dewasa. Karakter tersebut
bersifat luhur dan sakral sehingga tidak boleh dinodai dengan mengubah aturan
teknis pementasan seni tarian caci. Mengubah aturan tehnis pementasan tarian
caci dengan menggantikan tradisi penari pria dengan penari wanita berarti
menghilangkan sejumlah nilai luhur yang terkandung dalam seni tarian caci itu
sendiri. Perlu dimengerti bahwa tarian caci harus dimainkan oleh kaum pria
dewasa bukanlah sebuah tradisi belaka yang dikonstruksi sebagai bentuk dominasi
budaya patrilineal dalam kebudayaan Manggarai melainkan sebuah upaya untuk
merawat sejumlah nilai filosofis budaya yang ditampilkan melalui seni tari
tersebut.Para leluhur yang menciptakan dan mewariskan seni tarian caci dengan
sejumlah nilai filosofisnya pasti menginginkan generasi penerusnya tidak
sekedar memandang caci sebagai sebuah kesenian tetapi menjadi sebuah media
edukasi nilai moral.
Melihat caci sebagai media ekspresi nilai
maskulinitas tentu menggugah kita untuk bertanya apakah hal ini menunjukan
tendesi ketidakadilan gender atau dominasi budaya patrilineal dalam kebudayaan
Manggarai? Sama sekali tidak mengandung ketidakadilan gender karena pilihan
penari pria atau wanita dalam setiap seni tari bukan bersifat mana suka tetapi
berdasarkan nilai moral atau nilai filosofis budaya yang dikemas melalui
pementasan seni tari tersebut. Demikian pula seni tarian caci, dilihat dari
nilai filosofis yang berhubungan dengan unsur karakter maskulin yang
diekspresikan melalui seni tari tersebut, jelas tidak dibenarkan jika tarian caci
dipentaskan oleh penari wanita. Unsur karakter maskulin seperti kejantanan,
ketangkasan dan keberanian yang terkandung dalam seni tarian caci hendaknya
tidak dilihat sebagai sebuah ketidakadilan gender melainkan sebuah media edukasi
moral bagi kaum pria dewasa Manggarai. Caci tidak disamakan dengan olah raga
sepak bola, tinju atau sejenisnya yang dapat dilakoni oleh pria dan wanita
karena berhubungan dengan nilai filosofis budaya yang mau disampaikan melalui
kesenian tersebut.
Caci kini menjadi salah satu daya tarik wisata
budaya berkelas dunia. Tidak sedikit wisata manca negara memesan caci dalam
paket perjalanan wisatanya. Tidak mengherankan jika saat ini menjamur sanggar
tarian caci sebagai lahan bisnis menjanjikan. Ini patut diapresiasi karena menjadi
wahana pelestarian kesenian lokal di tengah arus dominasi budaya global. Namun
perlu diingat bahwa setiap sanggar budaya bertanggung jawab merawat
orisinilitas dan keluhuran nilai yang terkandung dalam seni tari tersebut.
Sejumlah nilai filosofis budaya yang tidak dapat diubah sesuai selera kebutuhan
penontonnya. Karena hal ini akan mereduksi sakralitas dan martabat nilai budaya
yang dikemas dalam seni tari tersebut. Saatnya kita sebagai orang Manggarai
membuktikan sikap hormat terhadap keluhuran martabat budaya kita dengan tidak
mengkomersialisasi demi mendulang dolar. Budaya adalh jati diri, mereduksi
nilai budaya demi kepentingan bisnis adalah tindakan merendahkan harga diri.
Karena itu tidaklah mengherankan jika kasus tarian caci yang dimainkan oleh
penari perempuan di sebuah sanggar di Kampung Melo Manggarai Barat beberapa
waktu lalu yang diduga terjadi atas permintaan wisatawan memantik reaksi keras
dari publik terutama orang Manggarai yang memahami filosofi budaya tarian caci.
Meskipun hingga kini belum ada klarifikasi resmi pemilik sanggar, penulis
sungguh menyadari hal tersebut terjadi di luar konsep resmi pemilik sanggar.
Karena saya yang berprofesi tambahan sebagai pemandu wisata pernah membawa
wisatawan ke sanggar tersebut. Pemilik sanggar selalu melibatkan tokoh adat yang
banyak tahu tentang caci. Akan tetapi karena hal ini sudah terjadi, semoga
menjadi pelajaran penting bagi kita bahwa budaya memang bukan teks kitab suci
yang tidak boleh diubah seturut tuntutan kebutuhan jaman namun tidak pantas
jika diubah sekedar memenuhi desakan hasrat bisnis belaka. SALAM DEMOKRASI
No comments:
Post a Comment